Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday 9 February 2010

Perbedaan Antara Makna Wala` (Loyal) Dengan Ihsan (Bersikap Baik/Lapang Dada Kepada Orang Kafir)

Di antara kesalahan yang masih dilakukan oleh kaum muslimin adalah menyamakan antara makna wala` (loyal) dengan ihsan (bersikap baik) kepada orang kafir. Ketidakmampuan kaum muslimin dalam membedakan antara dua lafadz tersebut adalah sebab utama yang sering menjadikan seorang muslim berburuk sangka kepada saudara muslim lainnya. Sering didapati seorang muslim yang menuduh saudaranya telah berkhianat dan bergabung dengan orang-orang kafir, hanya karena sikap ihsan yang ditunjukkan oleh saudaranya tersebut disalah artikan sebagai bentuk wala` kepada orang kafir. Padahal sikap ihsan tersebut belum dan bahkan tidak sama dengan wala` kepada orang kafir.
Ibnu hajar, sebagaimana yang dinukil oleh al Qohthoni (tt:353) menjelaskan, bahwa sikap baik dan lapang dada kepada orang kafir, adalah tidak menuntut adanya perwujudan kecintaan dan kasing sayang sebagaimana yang diharamkan oleh Allah jika dilakukan kepada orang kafir.
Allah berfirman,
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.." (Qs. Al Mujadillah: 22)
Dalam sebuah hadits shahih,
bahwa Asma` binti Abi Bakar ra, berkata; "Pada masa Nabi Shollaallahu `Alaihi Wa Sallam ibuku yang masih musyrik datang menemuiku karena rasa kangen. Maka aku pun meminta fatwa dari Rasulullah Shollaallahu `Alaihi Wa Sallam, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah datang menemuiku karena rasa kangen, haruskah aku menyambung hubungan dengannya?" Beliau bersabda: "Iya, sambunglah hubungan silaturahmi dengannya". (Hr. Bukhori)
Tentang hadits tersebut, al Khothobi (dalam al Qohthoni, tt:353) menjelaskan, "Sesungguhnya menyambung hubungan silaturahmi dengan orang kafir itu bisa dilakukan dengan jalan memberikan bantuan sedekah/uang atau selainnya. Sehingga dari situ, juga bisa diambil hukum atas wajibnya seorang anak untuk memberikan nafkah kepada orang tuanya meskipun berbeda agama".
Dari kaidah hadits tersebut bisa dipahami bahwa, sikap wala` (loyal) itu berbeda dengan ihsan (berbuat baik/berlapang dada kepada orang kafir). Sehingga, jika menerima bantuan atau bergabung dengan LSM-LSM asing dalam rangka penanggulangan musibah kemanusiaan disebut sebagai bentuk wala`/loyalitas kepada orang kafir adalah sikap yang berlebih-lebihan. Sebab, menerima bantuan dari mereka, atau bergabung dalam proses penaggulangan musibah kemanusiaan bukan berarti harus cinta dan sayang kepada mereka. Karena rasa cinta dan kasih sayang adalah bagian dari makna wala` (loyalitas) kepada seseorang. Hal ini jelas berbeda dengan ihsan atau berbuat baik dan berlapang dada dengan jalan menerima/meminta bantuan dari mereka.
Adapun batasan wala` kepada orang kafir yang bisa menjadikan pelakunya keluar dari Islam adalah tumbuhnya rasa cinta dan kasih sayang kepada mereka, atau menolong mereka dalam rangka kehancuran Islam dan kaum muslimin. Jadi, hubungan antara muslim dengan orang kafir tersebut tidak sebatas muamalah biasa. Tidak juga untuk berdakwah atau mensosialisasikan Islam kepada mereka. Sehingga kekafiran tersebut karena rasa cinta dan pertolongan yang mereka berikan kepada musuh-musuh Islam (baca dalam Kitab Lajnah Da`imah, 2/72).
Selengkapnya....

Monday 8 February 2010

Menikah Dengan Niat Cerai

Oleh: DR. Ahmad Zain An Najah, MA
Menikah dengan niat cerai dalam pembahasan ini berbeda dengan nikah mut’ah dan atau nikah kontrak. Kasus yang terjadi adalah seorang laki-laki menikah tetapi terbesit dalam dirinya, bahwa ia akan menceraikan wanita tersebut dalam kurn waktu tertentu. Bukan nikah kontrak yang marak terjadi antara wanita pribumi dengan lelaki asing yang tengah melancong ke Indonesia. Yang seperti itu jelas merupakan nikah yang dilarang.
Dalam permasalahan ini, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah dengan niat cerai.
Pendapat pertama, menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya boleh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Berkata imam Al Zulqani dari madzhab maliki di dalam syarh al muwatho’: “ Dan mereka sepakat bahwasannya siapa yang menikah secara mutlak, sedangkan ia berniat untuk tidak bersamanya (istrinya) kecuali sebatas waktu yang diniatkan, maka hal itu diperbolehkan dan bukan merupakan nikah mut’ah.”
Berkata Imam Nawawi dari madzhab Syafi’I di dalam syarah shahih muslim(9/182):” Berkata Al Qadhi:” Mereka sepakat bahwa seseorang yang menikah dengan akad nikah mutlak (akad yang memenuhi rukun dan syaratnya), tetapi di dalam hatinya ada niat untuk tidak bersama istrinya kecuali dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan niatnya, maka nikah tersebut sah, dan bukan termasuk nikah mut’ah.”
Berkata Ibnu Qudamah dari madzhab Hambali di dalam Al Mughni (7/537):” Jika sesorang menikahi perempuan tanpa ada syarat, hanya saja di dalam hatinya ada niat untuk menceraikan setelah satu bulan, atau menceraikannya jika dia telah menyelesaikan pekerjaannya di kota ini, maka jika seperti itu, mayoritas ulama kecuali Al Auza’I yang mengatakan bahwa hal tersebut termasuk nikah mut’ah. Tetapi pendapat yang benar bahwa hal tersebut tidaklah apa-apa, dan niat tersebut tidak berpengaruh.”
Merekah beralasan bahwa pernikahan tersebut telah memenuhi syarat dan rukunya, sehingga secara lahir hukumnya sah. Adapun hati dan niat diserahkan urusannya kepada Allah  , selama itu tidak tertulis di dalam akad nikah. Karena, barangkali calon suami ada niat untuk menceraikannya, tetapi ternyata setelah menikah dia senang dan merasa cocok dengan istrinya tersebut, atau karena pertimbangan lain, sehingga dia tidak jadi menceraikannya.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya haram. Ini adalah pendapat madzhab Ahmad dalam riwayat yang masyhur dan pendapat Imam Al Auza’I serta Al Majma’ alfiqh al islami, rabithah al ulama al islami pada pertemuannya yang ke- 18 yang diadakan di Makkah pada tanggal 10-14 Rabi’ul awal 1427 H/ 8-12 April 2006 M.
Nikah seperti ini tidak boleh dilakukan karena di dalamnya mengandung unsur penipuan, tetapi walaupun begitu, jika terlanjur, pernikahan tersebut tetap sah. Sedangkan niatnya bathil dan niatnya tersebut harus diurungkan.
Mereka beralasan bahwa tujuan pernikahan adalah mendapatkan ketenangan, kasih sayang, dan ketentraman. Sebagaimana firman Allah  ,
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar Rum:21)
Menikah dengan niat cerai menyalahi tujuan dari pernikahan sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas.
Selain itu, bahwa pada dasarnya kehormatan (kemaluan) seorang wanita adalah haram, kecuali melalui pernikahan yang sah prosesnya dan benar maksudnya. Di dalam pernikahan yang ada niat untuk menceraikan istrinya adalah pernikahan yang maksudnya sudah tidak benar dahulu, sehingga menjadi tidak boleh. Ini sesuai dengan nikah muhalil , yaitu pernikahan dengan maksud hanya ingin menghalalkan wanita yang telah diceraikan suaminya tiga kali, dan suami ingin kembali lagi kepada istri tersebut, tetapi syaratnya dia harus dinikahi oleh lelaki lain dan keduanya telah melakukan hubungan suami istri, setelah itu istri itu diceraikan, agar suami yang pertama bisa menikahinya kembali. Pernikahan semacam ini hukumnya haram, karena niatnya tidak benar, yaitu hanya sekedar untuk menghalalkan wanita tersebut. Kalau wanita muhalil diharamkan , maka begitu juga halnya dengan menikah dengan niat cerai.niat dalam masalah ini sangat berpengaruh di dalam pernikahan, sebagaimana sabda Rasulullah  : “ Sesungguhnya perbuatan itu tergantung kepada niatnya” (HR. Bukhari).
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa nikah Dengan niat cerai hukumnya boleh tapi makruh. Ini pendapat Abul Khair Al Imrani dan Ibnu Taimiyah, sebagaimana di dalam (Majmu’ fatawa : 32/107-108), tetapi di tempat lain Ibnu Taimiyah berpendapat boleh (Majmu’ fatawa : 32/147).
Berkata Abul Khair Al Imrani yang wafat tahun 558 H, di dalam bukunya Al Bayan, : 9/279: “ Jika ia menikahinya dan berniat di dalam hatinya akan hal tersebut (yaitu ingin menceraikannya), kemudian ia menikahinya dengan pernikahan mutlak, maka hal tersebut makruh, tetapi tetap sah. “ (bisa dirujuk pula dalam Mujib Al muthi’I, Takmilah al majmu’: 17/352)
Kalau dikatakan nikah ini seperti nikah mut’ah, maka penyamaan seperti ini tidak benar, karena keduanya ada perbedaan yang sangat menyolok diantaranya:
1. Nikah mut’ah menyebutkan syarat tersebut di dalam akad pernikahan, sedang nikah ini (nikah dengan niat talak) tidak disebutkan.
2. Nikah mut’ah tidak ada perceraian dan tidak ada masa iddah, jika masanya habis, pernikahan tersebut dengan sendirinya bubar. Sedang dalam nikah ini ada perceraian dan ada iddahnya juga, sebagaimana pernikahan pada umumnya.
3. Nikah mut’ah jika masa kontraknya habis, maka pernikahan tersebut harus dibubarkan. Kalau keduanya ingin melangsungkan pernikahan lagi, harus dengan akad baru. Sedang dalam pernikahan dengan niat cerai, bisa jadi tidak terjadi perceraian sebagaimana diniatkan, bahkan mungkin berlangsung terus sebagaimana pernikahan pada umumnya.
Kesimpulan dari keterangan di atas, bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya boleh menurut pendapat mayoritas ulama, tetapi makruh, maka sebaiknya ditinggalkan. Maksud dari boleh dan sah disini adalah bahwa hasil dari pernikahan tersebut diakui oleh islam, yaitu anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah anak yang sah dan dinisbatkan kepada orangtuanya, suami diwajibkan untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya, jika salah satu dari kedua orangtuanya meninggal dunia, maka anak-anaknya berhak mendapatkan warisan darinya, dan hal-hal lainya.
Sebenarnya tidak perlu mempersulit diri dengan meniatkan cerai yang diperselisihkan ulama. Dalam ranah hukum, toh cerai hukumnya boleh, kapanpun, tanpa harus ada niat saat menikah.
Wallahu’alam bishshowab
Selengkapnya....

Saturday 6 February 2010

Pemanfaatan Bunga Bank

Masalah bunga bank termasuk masalah kontemporer dan belum ditemui pada zaman salaf, karena itu para salafus sholih belum pernah membahasnya .
• Bunga bank yang hari ini ada, termasuk riba menurut kesepakatan para ulama` ( Fatawa Lajnah Daimah Xiii/342, Majalah Al Buhuts Al Ilmiyah Xvi/255).
• Semua peserta sidang OKI kedua di karachi Pakistan , bulan desember 1970 M telah menyepakati dua hal utama , yaitu:
1. Praktek Bank Dengan Sistem Bunga Adalah Tidak Sesuai Dengan Syari`At Islam .
Perlu segera didirikan Bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.• Fatwa kantor Mufti negara Mesir terhadap hukum bunga Bank sejak dulu senantiasa tetap dan konsisten, sekurang kurang nya sejak tahun 1900m sampai 1989 M , Mufti negara mesir menfatwakan bunga BANK termasuk salah satu bentuk riba yang di haramkan.
• Ulama`-ulama` besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID: Mujma` Al Buhuts Al Ilminyah) Dalam konfrensi II KKID di Universitas al azhar , Kairo pada bulan Muharrom 1385 H / Mei 1965M , telah menfatwakan dengan tegas tidak ada sedikitpun keraguan atas keharaman praktik pembungaan uang seperti yang di lakukan Bank-bank konvesional , diantara Ulama` besar yang hadir adalah :Prof . Dr Abu zahroh , Prof Abdulloh Daroz , Prof. Dr. Musthofa ahmad zarqo`, Dr. Yusuf Qordlowi dan sekitar tiga ratus Ulama` dunia lainnya , Para bankir dan ekonom dari Eropa , Amerika , dan dunia Islam yang juga hadir saat itupun dengan bersemangat menyerukan harus di cari satu bentuk perbankan alternatif,
• Fatwa tentang keharaman bunga bank juga dikeluarkan oleh Akademi fiqih yang berada dibawah lembaga Robithoh Alam Islami . ( lihat Bank Syari`ah dari teori ke praktek , hal: 65-66 ).
2. Hukum Dan Sikap Yang Bisa Di Ambil Dari Bunga Bank
Seluruh Ulama` menfatwakan bunga Bank termasuk riba yang haram, maka timbul disana -sini pertanyaan apa yang harus di perbuat dengan bunga Bank ? , Disadari sulit sekali untuk tidak berhubungan dengan Bank , baik dengan alasan keamanan seperti di lakukan orang-orang kaya negara Petro Dolar (TIMUR TENGAH ) maupun untuk alasan lain seperti menghimpun dana untuk kepentingan umat seperti yang di lakukan mayoritas lembaga-lembaga Islam , semisal KOMPAK, MER-CY dan lain-lain.
Dalam hal ini terjadi delima, mengingat mengambil bunga Bank berarti memakan riba dan diancam denga siksaan yang pedih

ياأيها ألذين أمنوا اتقوا ألله وذروا ما بقي من الربا إن كنتم مؤمنرن * فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب من ألله و رسوله وإن تبتم فلكم رؤس أمولكم لاتظلمون ولاتظلمون

“ Hai orang -orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman , maka jika kamu tidak meninggalkan sisa riba , maka ketahuilah bahwa Allah dan Rosul- Nya akan memerangimu dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba) maka bagian pokok hartamu , kamu tidak menganianya dan tidak dianiaya. (Q,s:al baqoroh:278-279).

Namun fakta juga berbicara, bunga Bank di Bank-Bank Eropa dan Amerika dari tabungan Umat Islam yang tidak diambil , di gunakan pihak Bank untuk kegiatan misionaris dan kristenisasi di dunia Islam , dari sinilah terjadi perbedaan pendapat mengenai pemanfaatan bunga Bank .
Untuk itu akan kita ketengahkan fatwa -fatwa para ulama` seputar pemanfaatan bunga Bank .
1. Soal : Apakah boleh meminta bunga bank dari tabungan orang yang mati yang menyimpan tabungan itu di bank ? Kalau tidak boleh apakah bunga Bank di biarkan sehingga digunakan Bank untuk kepentingan Bank atau harus bagaimana ?

JAWAB: Jika seorang muslim wafat dan meninggalkan harta di sebagian Bank ribawi dan tabungannya mempunyai bunga, tidak boleh bagi para ahli waris dan selain mereka dari pihak wali mayit untuk mengambil bunga itu demi kepentingan mereka karena Allah telah mengharamkan riba dan Rosulullah telah melaknat para pemakan riba , para penulisnya ( bendahara ) dan para saksinya , tapi jangan kau tinggalkan bunga itu di bank , tapi di ambil dan lansung di manfaatkan untuk proyek-proyek kebajikan seperti menyantuni para faqir, membayar hutang para pengutang dan sebagainya , bagi orang yang bertanggung jawab atas uang pokoknya untuk segera menarik tabungan dari Bank , karena memperahankannya di Bank termasuk menolong Bank dalam perbuatan dosa dan permusuhan, kecuali jika memang terpaksa harus di pertahankan , maka tidak apa-apa dengan catatan tanpa bunga , seperti dalam jawaban soal pertama .(lihat soal no,3 , fatwa no,3830 , Fatawa Lajnah Daimah 13/350 )
Yang di maksud dalam fatwa ini dengan soal nomer satu adalah :
SOAL:Bolehkah menabung atau menyimpan uang di Bank yang memakai bunga baik Bank setempat maupun Bank asing , baik Bank milik umat islam maupun bukan ?
JAWAB: Tidak boleh menyimpan uang di Bank-Bank yang memakai bunga (riba) kecuali karena terpaksa , jika terpaksa demi menjaga harta maka ia boleh menyimpan tanpa mengambil bunga simpanannya.( soal no 1 , fatwa no ,3830 , Fatawa Lajnah Daimah 13/350 ) .

2. SOAL: Saya mempunyai tabungan di salah satu Bank Nasional , Bank ini memberi saya bunga secara tetap perbulannya Saya mengikuti fatwa-fatwa Anda ( Lajnah Daimah ) seputar soal -soal yang serupa dengan pertanyaan Saya dan Anda menfatwakan bunga Bank ( termasuk ) jelas-jelas riba ,apa yang harus Saya lakukan terhadap bunga tabungan Saya ? saya memohon Anda menerangkan hakekat riba , Jazakumulloh khoiron ?

JAWAB : Bunga yang Anda ambil sebelum mengetahui ilmunya kami berharap Alloh memaafkannya , adapun sesudah mengetahui ilmunya maka anda harus berlepas diri / membebaskan diri darinya dan menginfakkannya untuk hal-hal kebaikan seperti shodaqoh kepada para fakir dan mujahidin fi sabilillah , serta brtaubat kepada Alloh dari berinteraksi dengan riba setelah tahu akan keharamannya , berdasar firman Alloh Ta`ala :

و أ حل ألله البيع وحرُم الربوا فمن جاءه مو عظة من ربه فانتهي فله ما سلف وأمره إلي ألله ومن عاد فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون

“ Dan Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba , maka barang siapa telah datang kepadanya peringatan Alloh lalu berhenti ( tidak memakan riba ) maka baginya apa yang telah di ambilnya dahulu ( sebelum turunnya larangan ) dan urusannya terserah Alloh , adapun orang yang mengulangi (mengambil riba ) maka mereka adalah penghuni neraka , mereka kekal di dalamnya .” { Q,s: al baqoroh : 275 }.
( soal no:2 , fatwa no : 15259 , Fatawa Lajnah Daimah 13/352-353 ).

3. SOAL: Seseorang mempunyai bunga (bank) yang besar - semoga Alloh mensucikan dan menjaga kita dan kaum muslimin dari bunga riba - bolehkah ia menggunakannya untuk proyek-proyek kebaikan , terkhusus lagi fakultas-fakultas syari`ah dan madrasah-madrasah tahfidh al qur`an dan secara umum proyek kebaikan lainnya ? membangun masjid dengan bunga ( riba ) haram , makruh atau tidak utama ? .
JAWAB : Bunga (riba) termasuk harta haram , Alloh Ta`ala berfirman :
وأحلٌ ألله البيع وحرٌم الربا
“ Alloh menghalalkan riba dan mengharamkan riba ( Q,S, Al Baqoroh : 275).

Barang siapa mempunyai bunga ( riba ) ,hendaklah ia melepaskan diri darinya dengan menginfakkannya dalam hal yang memberi kemanfaatan umat Islam , di antaranya membuat jalan , membangun madrasah-madrasah dan memberikannya kepada para fakir miskin , adapun membangun masjid tidak boleh dari harta riba , juga tidak halal bagi seseorang untuk mengambil bunga , tidak pula untuk terus mengambilnya. ( Fatwa No: 16576, Fatawa Lajnah 13/354 ).

4. FATWA no : 7209.
“ Uang simpanan anda di Bank ribawi dan mengambil bunganya haram , pinjaman anda ke Bank dengan bunga juga haram , anda juga tidak boleh membayarkan bunga tabungan anda untuk membayar bunga kredit anda dari Bank , yang wajib anda kerjakan adalah melepaskan diri dari bunga yang anda terima dengan menginfakkannya bagi kebaikan , seperti para fakir miskin , dan memperbaiki sarana-sarana umum dan lain sebagainya , anda wajib bertaubat dan istighfar dan menjauhi transaksi dengan riba , karena riba termasuk dosa besar , bertakwalah kepada Alloh karena Alloh akan menjadikan mudah kesusahan orang yang bertakwa .(fatawa lajnah daimah 13/360 ).

5.Syaikh Muhammad bin Ibrohim bin Abdul Latif As syaikh juga berfatwa :
“ Tambahan ( bunga ) yang Anda ambil dari keuntungan Bank hendaklah anda sedekahkan Wallohu A`lam bis showab .(Majalatul Buhuts 16 / 222 , dari Fatawa wa Rosail Syaikh Muhammad bin Ibrohim 7/178) .

Wallahu’allam
Selengkapnya....