Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday 8 February 2010

Menikah Dengan Niat Cerai

Oleh: DR. Ahmad Zain An Najah, MA

Menikah dengan niat cerai dalam pembahasan ini berbeda dengan nikah mut’ah dan atau nikah kontrak. Kasus yang terjadi adalah seorang laki-laki menikah tetapi terbesit dalam dirinya, bahwa ia akan menceraikan wanita tersebut dalam kurn waktu tertentu. Bukan nikah kontrak yang marak terjadi antara wanita pribumi dengan lelaki asing yang tengah melancong ke Indonesia. Yang seperti itu jelas merupakan nikah yang dilarang.
Dalam permasalahan ini, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah dengan niat cerai.
Pendapat pertama, menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya boleh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Berkata imam Al Zulqani dari madzhab maliki di dalam syarh al muwatho’: “ Dan mereka sepakat bahwasannya siapa yang menikah secara mutlak, sedangkan ia berniat untuk tidak bersamanya (istrinya) kecuali sebatas waktu yang diniatkan, maka hal itu diperbolehkan dan bukan merupakan nikah mut’ah.”
Berkata Imam Nawawi dari madzhab Syafi’I di dalam syarah shahih muslim(9/182):” Berkata Al Qadhi:” Mereka sepakat bahwa seseorang yang menikah dengan akad nikah mutlak (akad yang memenuhi rukun dan syaratnya), tetapi di dalam hatinya ada niat untuk tidak bersama istrinya kecuali dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan niatnya, maka nikah tersebut sah, dan bukan termasuk nikah mut’ah.”
Berkata Ibnu Qudamah dari madzhab Hambali di dalam Al Mughni (7/537):” Jika sesorang menikahi perempuan tanpa ada syarat, hanya saja di dalam hatinya ada niat untuk menceraikan setelah satu bulan, atau menceraikannya jika dia telah menyelesaikan pekerjaannya di kota ini, maka jika seperti itu, mayoritas ulama kecuali Al Auza’I yang mengatakan bahwa hal tersebut termasuk nikah mut’ah. Tetapi pendapat yang benar bahwa hal tersebut tidaklah apa-apa, dan niat tersebut tidak berpengaruh.”
Merekah beralasan bahwa pernikahan tersebut telah memenuhi syarat dan rukunya, sehingga secara lahir hukumnya sah. Adapun hati dan niat diserahkan urusannya kepada Allah  , selama itu tidak tertulis di dalam akad nikah. Karena, barangkali calon suami ada niat untuk menceraikannya, tetapi ternyata setelah menikah dia senang dan merasa cocok dengan istrinya tersebut, atau karena pertimbangan lain, sehingga dia tidak jadi menceraikannya.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya haram. Ini adalah pendapat madzhab Ahmad dalam riwayat yang masyhur dan pendapat Imam Al Auza’I serta Al Majma’ alfiqh al islami, rabithah al ulama al islami pada pertemuannya yang ke- 18 yang diadakan di Makkah pada tanggal 10-14 Rabi’ul awal 1427 H/ 8-12 April 2006 M.
Nikah seperti ini tidak boleh dilakukan karena di dalamnya mengandung unsur penipuan, tetapi walaupun begitu, jika terlanjur, pernikahan tersebut tetap sah. Sedangkan niatnya bathil dan niatnya tersebut harus diurungkan.
Mereka beralasan bahwa tujuan pernikahan adalah mendapatkan ketenangan, kasih sayang, dan ketentraman. Sebagaimana firman Allah  ,
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar Rum:21)
Menikah dengan niat cerai menyalahi tujuan dari pernikahan sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas.
Selain itu, bahwa pada dasarnya kehormatan (kemaluan) seorang wanita adalah haram, kecuali melalui pernikahan yang sah prosesnya dan benar maksudnya. Di dalam pernikahan yang ada niat untuk menceraikan istrinya adalah pernikahan yang maksudnya sudah tidak benar dahulu, sehingga menjadi tidak boleh. Ini sesuai dengan nikah muhalil , yaitu pernikahan dengan maksud hanya ingin menghalalkan wanita yang telah diceraikan suaminya tiga kali, dan suami ingin kembali lagi kepada istri tersebut, tetapi syaratnya dia harus dinikahi oleh lelaki lain dan keduanya telah melakukan hubungan suami istri, setelah itu istri itu diceraikan, agar suami yang pertama bisa menikahinya kembali. Pernikahan semacam ini hukumnya haram, karena niatnya tidak benar, yaitu hanya sekedar untuk menghalalkan wanita tersebut. Kalau wanita muhalil diharamkan , maka begitu juga halnya dengan menikah dengan niat cerai.niat dalam masalah ini sangat berpengaruh di dalam pernikahan, sebagaimana sabda Rasulullah  : “ Sesungguhnya perbuatan itu tergantung kepada niatnya” (HR. Bukhari).
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa nikah Dengan niat cerai hukumnya boleh tapi makruh. Ini pendapat Abul Khair Al Imrani dan Ibnu Taimiyah, sebagaimana di dalam (Majmu’ fatawa : 32/107-108), tetapi di tempat lain Ibnu Taimiyah berpendapat boleh (Majmu’ fatawa : 32/147).
Berkata Abul Khair Al Imrani yang wafat tahun 558 H, di dalam bukunya Al Bayan, : 9/279: “ Jika ia menikahinya dan berniat di dalam hatinya akan hal tersebut (yaitu ingin menceraikannya), kemudian ia menikahinya dengan pernikahan mutlak, maka hal tersebut makruh, tetapi tetap sah. “ (bisa dirujuk pula dalam Mujib Al muthi’I, Takmilah al majmu’: 17/352)
Kalau dikatakan nikah ini seperti nikah mut’ah, maka penyamaan seperti ini tidak benar, karena keduanya ada perbedaan yang sangat menyolok diantaranya:
1. Nikah mut’ah menyebutkan syarat tersebut di dalam akad pernikahan, sedang nikah ini (nikah dengan niat talak) tidak disebutkan.
2. Nikah mut’ah tidak ada perceraian dan tidak ada masa iddah, jika masanya habis, pernikahan tersebut dengan sendirinya bubar. Sedang dalam nikah ini ada perceraian dan ada iddahnya juga, sebagaimana pernikahan pada umumnya.
3. Nikah mut’ah jika masa kontraknya habis, maka pernikahan tersebut harus dibubarkan. Kalau keduanya ingin melangsungkan pernikahan lagi, harus dengan akad baru. Sedang dalam pernikahan dengan niat cerai, bisa jadi tidak terjadi perceraian sebagaimana diniatkan, bahkan mungkin berlangsung terus sebagaimana pernikahan pada umumnya.
Kesimpulan dari keterangan di atas, bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya boleh menurut pendapat mayoritas ulama, tetapi makruh, maka sebaiknya ditinggalkan. Maksud dari boleh dan sah disini adalah bahwa hasil dari pernikahan tersebut diakui oleh islam, yaitu anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah anak yang sah dan dinisbatkan kepada orangtuanya, suami diwajibkan untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya, jika salah satu dari kedua orangtuanya meninggal dunia, maka anak-anaknya berhak mendapatkan warisan darinya, dan hal-hal lainya.
Sebenarnya tidak perlu mempersulit diri dengan meniatkan cerai yang diperselisihkan ulama. Dalam ranah hukum, toh cerai hukumnya boleh, kapanpun, tanpa harus ada niat saat menikah.
Wallahu’alam bishshowab

0 comments:

Post a Comment